Jakarta, CNBC Indonesia – Perang Rusia-Ukraina yang pecah pada Februari 2022 masih terus berlanjut hingga sekarang. Hal ini juga terjadi pada sanksi ekonomi Barat, yang mendukung Kyiv, terhadap Moskow dengan tujuan menjatuhkan mesin uang Negeri Beruang Putih untuk perang.
Di antara serentetan sanksi terbaru adalah penerapan alat anti-pengelakan oleh Uni Eropa pada bulan Juni lalu untuk membatasi penjualan barang ke Rusia melalui perantara negara ketiga. Pada bulan Mei, G7 mengumumkan niat blok tersebut untuk membatasi perdagangan berlian Rusia.
Dalam melawan deretan sanksi ini, Rusia bertekad untuk menggunakan segala cara agar dapat mengakses perdagangan internasional. Langkah ini dilakukan mulai dari berdagang migas dengan China hingga melepas penggunaan mata uang Dolar Amerika Serikat (AS).
Untuk memuluskan hal ini, Moskow memperkuat tajinya dalam aliansi dagang BRICS, yang diikuti juga oleh China, semakin kuat. Ini diperkuat peran Rusia yang vital dalam produksi migas dunia, dan anggota lain BRICS seperti China, India, dan Brasil, menjadi motor kekuatan ekonomi global baru.
India dan China juga meningkatkan impor minyak mentah Rusia yang didiskon sejak perang di Ukraina. Moskow saat ini menjadi sumber minyak mentah utama India dan menyumbang sekitar 40% impor minyak mentah negara itu.
“Sisi lain dari sanksi ini adalah menciptakan ikatan yang lebih kuat antara negara-negara BRICS, yang pada gilirannya merupakan kekuatan yang berlawanan, berlawanan dengan politik Barat,” ujar CEO perusahaan perdagangan energi Vitol, Russell Hardy, pada konferensi APPEC baru-baru ini di Singapura, dikutip CNBC International.
Di sisi lain, pada pertemuan puncak BRICS Agustus lalu di Afrika Selatan (Afsel), usulan Rusia untuk melepas Dolar AS mendapat dukungan.
Presiden Brasil Lula da Silva menyoroti bahwa aliansi tersebut terus mengkaji kemungkinan adanya mata uang bersama. Selama kunjungan kenegaraan ke China pada bulan April, ia juga dilaporkan menyerukan de-dolarisasi.
Menteri Keuangan Afsel, Enoch Godongwana juga mengatakan Bank Pembangunan Baru (NPB), bank milik BRICS, perlu meningkatkan penggalangan dana dan pinjaman mata uang lokalnya. Ini untuk mengurangi resiko dampak fluktuasi valuta asing kepada langkah dedolarisasi.
“Sebagian besar negara anggota NDB telah mendorong untuk memberikan pinjaman dalam mata uang lokal,” kata Godongwana dikutip Reuters.
Selain meningkatkan mata uang lokalnya, BRICS juga disebut-sebut akan merilis mata uang baru yang berbasis pada emas.
“Uang baru, dunia baru. Standar emas akan menjadi keuntungan besar dalam menetapkan mata uang baru,” tulis media Rusia, Russia Today.
Ancaman Balik Putin
Putin pada Juni lalu juga memberikan sebuah peringatan besar pada lembaga AS. Hal ini terkait dengan sanksi keuangan yang dijatuhkan kepada negara itu oleh Washington atas dasar serangan ke Ukraina.
Pernyataan Putin ini diucapkan saat berbicara dengan CEO bank terbesar kedua Rusia VTB, Andrey Kostin. Kostin awalnya merasa bahwa sektor perbankan negara itu aman dan kebal dari sanksi AS dan sekutunya.
“Lihatlah apa yang sekarang terjadi di AS. Ini sebenarnya adalah krisis keuangan dan perbankan terbesar sejak 2008, dan sudah menyebar ke Eropa,” bankir top Rusia itu mencatat dikutip Russia Today.
“Dengan memberlakukan pembatasan ekonomi terhadap Moskow, Barat telah menghancurkan sistem perdagangan global dan menyebabkan lonjakan inflasi, sementara upayanya untuk menyelesaikan masalah ini dengan menggunakan metode standar mendevaluasi aset bank.”
Kostin menambahkan sektor perbankan Rusia merasa cukup aman saat ini. Meski begitu, mereka juga mengalami kerugian tertentu ketika properti milik mereka diambil begitu saja oleh otoritas Barat.
Putin, yang sebelumnya mengutip kedaulatan ekonomi sebagai prioritas utama negara, setuju dengan Kostin. Ia melanjutkan bahwa sanksi Barat akan memiliki efek bumerang.
“Mungkin apa yang Anda (Kostin) katakan tentang meningkatkan tingkat kemandirian dan kedaulatan agak tepat waktu, mengingat tren negatif yang lebih besar dalam sistem perbankan AS,” paparnya.
Untung Putin di Dalam Negeri
Sanksi telah membuat perusahaan Barat dan sekutunya yang beroperasi di Rusia untuk hengkang dari negara itu. Hal ini diharapkan akan mampu menggembosi pendapatan Rusia dan akses Negeri Beruang Putih terhadap barang-barang asing.
Namun nyatanya, hal yang terjadi justru sebaliknya. New York Times melaporkan Presiden Rusia Vladimir Putin malah menjadikan momen keluarnya perusahaan Barat sebagai rejeki nomplok.
Dalam laporan tersebut, disebutkan bagaimana Putin memeras perusahaan-perusahaan Barat untuk mendapatkan sebanyak mungkin kekayaan dengan mendikte syarat-syarat kepergian mereka. Ia juga mengenakan pajak yang terus meningkat, sehingga menghasilkan setidaknya US$ 1,25 miliar (Rp 19 triliun) pada tahun lalu untuk dana perang.
Salah satu korbannya adalah raksasa bir Belanda, Heineken. Perusahaan itu diketahui menemukan pembeli pada musim semi ini dan menetapkan harga. Namun pemerintah Rusia secara sepihak menolak kesepakatan tersebut dan menyerahkan kepemilikan perusahaan tersebut di Rusia ke tangan raksasa pengemas aerosol yang menikah dengan mantan senator Rusia.
Dalam beberapa kasus, pemainnya adalah negara. Badan usaha milik pemerintah telah mengakuisisi aset perusahaan raksasa seperti Ikea dan Toyota. Namun dalam banyak kasus, Putin secara pribadi menandatangani penjualan.
“Ini tentu saja merupakan kesepakatan yang bagus bagi kami,” kata Anton Pinsky, seorang pemilik restoran terkemuka yang bergabung dengan rapper pro-Putin dan rekan senator berpengaruh untuk mengambil alih Starbucks, dikutip Senin (18/12/2023).
Saat ini di Rusia, dunia konsumen yang kuat terus membantu Putin mempertahankan keadaan normal meskipun perang telah terbukti lebih lama, lebih mematikan, dan lebih mahal. Sebagian besar perusahaan asing tetap berada di Rusia dan tidak mau kehilangan miliaran dolar yang telah mereka investasikan di sana selama beberapa dekade.
Sementara itu, bisnis lain telah terjual dan kini memiliki nuansa yang luar biasa. Krispy Kreme sekarang menjadi Krunchy Dream dengan donat yang serupa dan rasa yang familiar. Starbucks telah terlahir kembali sebagai Stars Coffee.
Pelanggan pun masih dapat dengan mudah membeli produk yang seharusnya sudah ditarik dari rak. Baru-baru ini, supermarket Moskow menawarkan Pepsi dari Uzbekistan dan Coca-Cola dari Polandia.
“Serangan balik ekonomi yang dilakukan Putin telah membantu memperkuat dukungan di kalangan elit yang mengambil keuntungan dari perang dan mengurangi dampak isolasi Barat,” tulis New York Times.
“Meskipun Ukraina disibukkan dengan hal-hal penting jangka pendek seperti menopang dukungan internasional, ketahanan ekonomi Rusia yang relatif memungkinkan Putin untuk memainkan peran jangka panjang.” https://itusiapalagi.com/