Jakarta, CNBC Indonesia – Selama 11 bulan berjalan pada 2023, neraca dagang RI terpantau semakin susut akibat pelemahan ekonomi global dan moderasi harga komoditas. Kendati demikian, Indonesia masih mencetak surplus selama 43 bulan beruntun.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga November 2023 neraca dagang mencatatkan surplus sebesar US$ 2,41 miliar, turun dari Oktober yang sebesar US$ 3,48 miliar. Sementara dalam basis tahunan, turun nyaris 50% dari US$ 5,10 miliar pada 2022.
Secara kumulatif Januari-November 2023 pun hanya mencapai US$ 33,63 miliar, anjlok US$ 16,91 miliar dari periode yang sama tahun lalu US$ 50,54 miliar.
Catatan surplus 43 bulan beruntun pada November 2023 menjadi pencapaian sendiri bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Catatan tersebut menshakan Jokowi sebagai raja dagang pasca reformasi. Sebelumnya posisi ini dipegang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (42 bulan).
Surplus terpanjang yang dicatat Indonesia adalah selama 153 bulan yang terbentang dari Juli 1995-Maret 2008. Periode tersebut terbentang dari periode pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri.
Dalam satu kali masa pemerintahan, surplus terpanjang masih ditorehkan Soeharto. Presiden Soeharto yang memerintah selama 32 tahun di Indonesia pernah mencatatkan surplus panjang selama 91 bulan pada periode Agustus 1975 hingga Februari 1983.
Jika ditelisik, penyebab menciutnya surplus dipicu oleh penurunan ekspor. Ekspor kumulatif Indonesia pada periode Januari hingga November 2023 mencapai US$236,41 atau turun 11,38%, jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan ini cukup parah jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-November 2022 mencapai US$268,18 miliar atau naik 28,16% dibandingkan periode yang sama pada 2021.
Pertumbuhan ekspor sepanjang tahun lalu dan saat ini sangat kontras ditengarai karena melemahnya perekonomian dari mitra dagang utama Indonesia, yakni China.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, rambatan tekanan ekonomi dari global ke Indonesia masuk dari jalur perdagangan. Kondisi ekonomi China yang tengah mengalami pelemahan akibat utang publik yang melonjak hingga perlambatan manufaktur mulai berdampak ke berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.
“Berbagai faktor struktural yang sifatnya jangka menengah panjang, antara lain labor aging serta krisis properti masih menjadi faktor pemberat dari perekonomian Tiongkok,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip Kamis (21/12/2023).
Senior Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia mengungkapkan penurunan aktivitas di Tiongkok, setelah tampaknya mengalami perubahan pada kuartal III-2023. Hal ini mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
“Perlambatan manufaktur (dengan PMI pada tanggal 23 November sebesar 49,4) berdampak negatif pada ekspor baja dan nikel (RI), sementara peningkatan ekspor timah hanya mencerminkan larangan penambangan timah di Myanmar yang mengalihkan permintaan ke Indonesia,” kata Barra dalam laporan BCA.
Data BPS menunjukkan barang besi dan baja mengalami penurunan sebanyak 6,82% secara bulanan (month to month/mtm), kemudian nikel dan barang daripadanya turun 17,16% (mtm), serta ampas dan sisa industri makanan turun 27,8% (mtm).
Sementara itu, dampak dari Amerika Serikat (AS), terjadi karena aktivitas ekonominya yang masih ditopang oleh sektor jasa. Membuat permintaan barang-barang impor dari luar negeri, termasuk dari Indonesia belum signifikan.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu. Menurutnya, meskipun perekonomian AS dalam tren menguat, impor AS dari global secara keseluruhan masih terkontraksi.
“Hal ini terutama karena tren penguatan ekonomi AS lebih ditopang oleh sektor jasa domestik,” kata Febrio dalam pernyataan resmi Jumat (17/11/2023).
Terbukti, nilai ekspor Indonesia ke AS terkontraksi sebesar -0,51% (mtm). Febrio juga melihat perlambatan aktivitas ekonomi di kawasan ASEAN, yang menyebabkan ekspor ke Singapura dan Malaysia terkontraksi masing-masing sebesar 4,73% dan 2,28% (mtm).
Selain pelemahan ekonomi global, faktor kedua yang menjadi penyebab menciutnya neraca dagang adalah penurunan harga komoditas. Padahal, penopang ekspor kita paling banyak dari komoditas.
Ekonom Senior Bambang Brodjonegoro menuturkan tren penurunan harga komoditas telah menunjukkan dampak pada surplus neraca dagang kita.
“Kemudian, faktor kedua, tren penurunan harga komoditas yang sudah terjadi pada awal tahun ini akhirnya menunjukkan dampak kepada surplus kita,” ujar Bambang di Program Power Lunch CNBC Indonesia, Jumat (15/12/2023).
Kondisi ini menunjukkan kerawanan, karena menurut Bambang Indonesia masih bergantung pada ekspor sumber daya alam. Terbukti, komoditas unggulan RI seperti minyak kelapa sawit dan nikel melemah di tengah kondisi ekonomi global yang melambat. Bambang optimistis surplus masih dapat berlanjut hingga Desember 2023.
Namun, dia tidak menjawab potensi surplus tahun depan. Bambang hanya mengingatkan bahwa pelemahan ekonomi global diprediksi masih berlanjut hingga 2024 karena sejumlah sentimen seperti suku bunga tinggi di negara maju.
“Berarti untuk menjaga performance 2024, kita harus memperhatikan negara tujuan ekspor, dalam hal ini, utamanya China, India, nomor 3 adalah AS,” kata Bambang.
Dia meyakini India bisa menjadi pasar ekspor besar RI menggantikan China. Pasalnya, kata Bambang, ekonomi India tercatat melesat dibandingkan mitra dagang RI lainnya.
“Kalau mereka tumbuh 6-7%, sementara India masih mengimpor palm oil kita, maka ini bisa menjadi solusi,” ujarnya.
Ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO) menyumbang sekitar 30% dari ekspor Indonesia sehingga pelemahan harga komoditas keduanya sangat berdampak kepada ekspor.
Merujuk Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada tahun ini ada di angka US$ 171,3 per ton, jauh di bawah tahun lalu yang menembus US$ 345,8 per ton. Sementara itu, rata-rata harga CPO pada tahun ini ada di angka MYR 3.796,6 per ton, lebih rendah dibandingkan pada tahun lalu di angka US$ 4.910,36 per ton.
Ekspor Lima Produk Andalan RI Anjlok
Surplus pada November juga menyisakan banyak sentimen negatif. Sejumlah produk andalan Indonesia mengalami penurunan ekspor sangat tajam pada bulan lalu. Berikut lima produk andalan RI dengan penurunan nilai ekspor tertajam:
1. Minyak kelapa sawit
Nilai ekspor minyak kelapa sawit pada November 2023 tercatat US$ 2,15 miliar atau sekitar Rp 33,2 triliun (kurs US$ 1= 15.425). Nilainya turun US$ 333,84 juta atau 13,42% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, nilai ekspor masih naik 6,6% dibandingkan bulan sebelumnya.
2. Pakaian Jadi (konveksi) dari tekstil
Nilai ekspor pakaian jadi (konveksi) dari tekstil tercatat US$ 533,32 juta atau Rp 8,23 triliun. Nilainya turun US$ 133,6 juta atau 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Secara bulanan, nilai ekspor masih naik 8,3%.
3. Besi/baja
Nilai ekspor besi/baja tercatat US$ 2,35 miliar atau sekitar Rp 36,2 triliun. Nilai ekspor turun US$ 133,6 juta atau 4,71% dibandingkan November 2022(yoy) dan jatuh 6,5% dibandingkan bulan Oktober 2023 (mtm).
4. Bubur kertas
Nilai ekspor bubur kertas mencapai US$ 262 juta atau sekitar Rp 4,04 triliun. Nilai tersebut turun US$ 95,1 juta atau 26,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ekspor turun 4,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
5. Logam dasar mulia
Nilai ekspor logam dasar mulia tercatat US$ 79,97 juta atau Rp 1,23 triliun pada November 2023. Nilai tersebut turun US$ 86,7 juta atau 52% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Nilai tersebut masih naik 5,7% dibandingkan bulan sebelumnya. https://horeoraduwe.com/